MAGETAN (Lensamagetan.com) – Beberapa waktu yang lalu, Ketua Umum PDIP ketika menghadiri rapat koordinasi nasional relawan Ganjar-Mahfud di JIExpo Kemayoran Jakarta menyampaikan, penguasa saat ini menurutnya bertindak seperti penguasa di masa Orde Baru. Dan pernyataan tersebut mendapat sambutan gegap gempita dari seluruh peserta.
Mengapa narasi penguasa otoriter selalu menarik untuk dialamatkan kepada setiap penguasa di negeri ini? Di Hari Pers Nasional tanggal 9 Pebruari 2009 saya pernah menulis di sebuah harian nasional Jakarta dengan judul “Mengapa Media Selalu Curiga?” Isinya saya mencoba membahas, mengapa narasi penguasa otoriter selalu seksi dialamatkan kepada yang sedang berkuasa. Coba kita tengok dalam catatan perjalanan bangsa terkait dengan kebebasan di negeri ini.
Di dalam sejarah kebebasan di Indonesia menunjukkan, bahwa setiap pemerintah yang berkuasa pada awalnya selalu memberikan janji kemerdekaan terhadap kebebasan. Kebebasan untuk berpendapat dan berekspresi. Namun, dalam perjalanan selanjutnya ternyata bisa jadi sangat berbeda dari janji sebelumnya. Pada kenyataannya dalam berbagai kebijakan yang dibuat oleh penguasa justru sebaliknya. Kebebasan kemudian dikekang dengan berbagai caranya.
Hal ini bisa dirunut dari masa pemerintahan Presiden Sukarno. Sebagai founding fathers Sukarno menjamin kebebasan dalam Pasal 28 UUD 1945. Sebagai penegasan kemudian, Menteri Penerangan waktu itu Mr Amir Sariffudin, pada bulan Oktober 1945 menegaskan melalui maklumatnya, penyelenggaraan pemerintahan harus bersendikan asas kebebasan dan juga pers yang merdeka. Menurut Menteri, “Pikiran masyarakat umum (public opinions) itulah sendi dasar pemerintah yang berkedaulatan rakyat. Pers yang tak merdeka tidak mungkin menyatakan pikiran masyarakat, tetapi hanya pikiran beberapa orang yang berkuasa. Maka, asas kita adalah kebebasan dan pers harus merdeka.”
Sejarah kemudian juga mencatatnya. Kebebasan ternyata juga hanya seumur jagung. Setelah Belanda pergi dan pers mulai kritis terhadap pemerintah, pembredelan mulai dilakukan. Tafsir pemerintah atas kemerdekaan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat kemudian lebih diarahkan memperkuat status quo penguasa. Sebagai salah satu contoh, Surat Kabar Indonesia Raya, Pedoman, dan Nusantara dibredel karena isinya sering berseberangan dengan pemerintah.
Tidak hanya itu. Teman-teman seperjuangan Sukarno juga dipenjarakan dengan berbagai tuduhan. Seperti Moh Roem, Sutan Syahrir, Anak Agung Gede Agung, Mochtar Lubis dll dipenjarakan di Madiun. Ini menjadi saksi atas pengingkaran janji pemerintah di masa kepemimpinan Sukarno. Malahan Koes Bersaudara (Koes Plus kemudian) dipenjara gara-gara menyanyikan lagu-lagu Barat.
Orde Lama tumbang kemudian digantikan Orde Baru. Kelahiran Orde Baru, di bawah kepimpinan Presiden Suharto juga dihiasi dengan janji akan memberikan kebebasan Sebagai koreksi atas Orde Lama yang dianggap mengekang kemerdekaan berserikat, berkumpul dan juga dengan kebebasan pers. Pemerintah menjaminnya melalui undang-undang tentang Pers. Dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 1966 Pasal 4 dengan jelas dan tegas dinyatakan bahwa,”pers bebas dari kontrol dan pembredelan”.
Demontrasi dan protes juga diberi ruang. Bahkan kejatuhan Sukarno juga karena gelombang protes serta demo yang dibelakangnya diyakini diberi ruang oleh penjaga mandat yaitu Suharto ketika itu.
Bulan madu kebebasan di masa Orde Baru tampaknya juga hanya seumur jagung lagi. Kebebasan berakhir usai dengan pecahnya peristiwa Malari tahun 1975.
Upaya pemerintah melakukan pengekangan mulai muncul kembali. Kontrol atas kebebasan berpendapat dan kebebasan pers makin mengerucut. Peristiwa pembredelan, orang hilang menjadi catatan sejarah kelam masa Orde Baru. Beda pendapat dianggap menentang penguasa. Bahkan tuduhan PKI selalu menjadi narasi ancaman paling ampuh agar diam.
Era baru yang lahir disertai gelombang protes dan demontrasi bahkan pertumpahan darah melahirkan pemerintahan baru. Pemerintah era reformasi di bawah pimpinan Presiden B.J. Habibie lahir. Pemerintahan Presiden Habibie tercatat sebagai pemerintahan sebagai pemerintahan yang pendek. Dalam masa awal pemerintahannya, janji kebebasan juga direalisasikan karena desakan masyarakat sipil yang ingin kebebasan.
Salah satu bentuk keseriusan pemerintah dalam menjaga kebebasan salah satunya lahirnya Undang-undang No 40 Tahun 1999 tentang Pers. Di era B.J Habiebie euphoria kebebasan demikian menguat. Bahkan sumpah serapah kepada penguasa bukan aib lagi. Demikian juga pers demikian bebasnya. Bahkan pendirian lembaga pers tak perlu lagi ijin dan sejenisnya. Dan malahan ada sanksi, bagi yang menghambat kebebasan.
Pemerintahan Habibie hanya sebentar digantikan oleh pemerintahan Abdurrahman Wahid. Sebagai seorang yang sejak muda memperjuangkan kebebasan, Gus Dur memberi jaminan terhadap kemerdekaan dan kebebasan berpendapat dan berserikat. Sebagai salah bentuk jaminan akan kepastian kebebasan dan kontrol serta pembredelan terhadap pers tidak ada lagi, ”Gus Dur” langsung membubarkan Departemen Penerangan pada Oktober 1999. Karena apa? Departemen Penerangan selama ini dianggap identik dengan lembaga yang membelenggu kebebasan berpendapat dan khususnya kebebasan pers.
Namun sejarah juga mencatat, awal reformasi kebebasan itu bisa diartikan boleh berbuat dan bertindak apa saja. Termasuk pengerahan masa. Seperti juga terjadi di era Gus Dur ketika masyarakat dan pers mulai kritis kepada pemerintah. Kritik media kepada pemerintahan Gus Dur ditanggapi sangat sempit. Bukan penguasa yang bertindak, tapi para simpatisan.
Tentu ingatan kita tak akan lupa dari pendudukan kantor Jawa Pos oleh simpatisan Gus Dur guna meminta klarifikasi atas pemberitaan yang mulai kritis terhadap pemerintah. Kejengkelan simpatisan Gus Dur atas kritik media, dilampiaskan dengan pengerahan masa. Kantor redaksi Jawa Pos diduduki. Redaksi tidak bisa bekerja. Karena pendudukan tersebut Jawa Pos terbit dengan halaman kosong hitam, tidak ada berita. Itu bisa dianggap sebagai bentuk keprihatinan media terhadap mulai matinya kebebasan.
Demikian juga ketika pemerintahan berganti. Dan Presiden Megawati Soekarnoputri sebagai presiden. Janji kebebasan juga muncul kembali. Gaya pemerintahan Megawati memang berbeda dengan gaya pemerintahan Gus Dur. Namun tatkala pers juga mulai kritis terhadap pemerintah, Presiden Megawati menyampaikan keluhannya terhadap pers.
Keluhan Megawati itu disampaikan secara terbuka dalam pidato di Hari Pers Nasional di Banjarmasin. Akhirnya pada masa pemerintahannya, kita juga bisa mencatat Megawati pernah menggugat media massa (lihat kasus Harian Rakyat Merdeka).
Langkah itu diambil sebagai akumulasi pemberitaan yang dianggap menyerang secara terus-menerus dan dianggap tidak adil. Dan langkah Megawati juga dianggap oleh lawan politik sebagai membelenggu kebebasan.
Pemilu secara langsung, terpilih Presiden baru Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Pada awal pemerintahan Presiden SBY juga menyampaikan dengan tegas komitmen kepada demokrasi dan kebebasan. Selama pemerintahan SBY lahir UU UU No: 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Undang-undang yang menjadi penjaga kebebasan dan kemudahan memperoleh akses informasi.
Apakah SBY tidak pernah dianggap otoriter? Juga pernah. Kita masih ingat kasus tudingan Wakil Ketua DPR Zaenal Maarif, mengenai isu pernikahan SBY sebelum masuk Akademi Militer. Ketika Presiden SBY kemudian menempuh jalur hukum dengan melaporkannya kepada aparat penegak hukum, oleh lawan politik dianggap pemerintah tidak kebal kritik dan mengganggu kebebasan. Dan dianggap otoriter.
Itulah rentetan fakta sejarah. Oleh sebab itu jangan heran isu presiden otoriter selalu seksi. Demikian pada pemerintahan Jokowi. Setiap langkah pemerintah Jokowi, bahkan dalam menegakkan aturan pun dan bersinggungan dengan kebebasan selalu menjadi senjata pihak lawan untuk menyerang dengan menganggap pemerintah otoriter.
Tentu kita ingat beberapa tahun lalu lawan politik pemerintahan Jokowi juga menganggap pemerintah Jokowi itu otoriter. Tuduhan itu muncul ketika pemerintah mulai tegas melakukan penangkapan terhadap pembuat hoaxs, pembubaran organisasi dianggap melanggar dan juga pembatasan peserta Tablig Akbar PA 212 di Solo. Dan tentu yang terakhir pernyataan Megawati beberapa waktu lalu.
Melihat rentetan sejarah penguasa di negeri ini, tuduhan dialamatkan kepada penguasa dianggap otoriter itu selalu ada dan terjadi. Wajar kalau selalu seksi!!!!. (*)