MAGETAN (Lensamagetan.com) – Insiden longsor yang terjadi di salah satu tambang galian C di Desa Trosono, Kecamatan Parang, Kabupaten Magetan, pada 27 September 2025 lalu, menewaskan seorang sopir dan merusak sekitar 10 hektar lahan pertanian.
Tragedi tersebut menjadi tamparan keras sekaligus pengingat bahwa aktivitas pertambangan di Magetan masih menyimpan banyak persoalan serius, terutama soal keselamatan dan tata kelola lingkungan.
Peristiwa itu pun kembali membuka wacana perlunya perubahan paradigma dalam sistem pertambangan, dari yang selama ini didominasi oleh korporasi menuju model pertambangan rakyat yang lebih berpihak pada kesejahteraan masyarakat.
Berdasarkan kajian bertajuk “Menggeser Paradigma Pertambangan dari Korporasi ke Sistem Rakyat”, sistem pertambangan rakyat (IPR/SIPB) dinilai lebih adil, transparan, dan berkelanjutan dibandingkan sistem korporasi (IUP).
Model ini terbukti mampu menyerap tenaga kerja lokal, meningkatkan kesejahteraan warga, sekaligus menjaga kelestarian lingkungan melalui skala usaha yang kecil dan pengawasan berbasis komunitas.
Dalam praktiknya, setiap kelompok tambang rakyat di Magetan mampu menyerap hingga 25 pekerja lokal dengan gaji di atas UMR. Keuntungan ekonomi pun langsung dirasakan masyarakat setempat. Sementara itu, sistem korporasi kerap menimbulkan berbagai masalah seperti penggelapan pajak, kerusakan lahan, dan sengketa antara perusahaan dengan warga.
Seperti yang disampaikan Aktivis Forum Rumah Kita, Rudi Setiawan atau yang akrab disapa Rugos, ia menilai bahwa perubahan paradigma pertambangan di Magetan sudah sangat mendesak.
“Longsor di Trosono harusnya jadi peringatan serius. Selama ini, korporasi lebih banyak mengambil untung, sementara warga menanggung risikonya. Pertambangan rakyat justru memberi kontrol dan manfaat langsung bagi masyarakat,” ujar Rugos.
Ia menambahkan, sistem IPR lebih membuka ruang partisipasi masyarakat dalam pengawasan dan pengelolaan tambang.
“Ketika rakyat diberi ruang, tambang bisa dikelola lebih transparan. Pajak bisa masuk ke desa, reklamasi bisa dilakukan bersama, dan tidak ada lagi manipulasi laporan produksi seperti yang sering terjadi di perusahaan besar,” tegasnya.
Lebih lanjut, Rugos mendorong Pemerintah Kabupaten Magetan untuk mempercepat penerbitan izin SIPB bagi kelompok tambang rakyat, serta memperketat pengawasan terhadap perusahaan pemegang IUP yang terbukti melanggar.
“Jangan sampai moratorium izin tambang hanya jadi slogan. Pemerintah harus berpihak pada sistem yang menyejahterakan rakyat, bukan yang memperkaya segelintir orang,” pungkasnya.
Dengan perubahan sistem ini, pertambangan rakyat diharapkan dapat menjadi model baru pemberdayaan ekonomi lokal yang adil, ramah lingkungan, dan berkelanjutan menjauhkan Magetan dari praktik eksploitasi korporasi yang selama ini merugikan masyarakat.(niel/red)












