Opini  

Cegah, Awasi, Atasi (CAA) Self Harm

Muries Subiyantoro Guru BK SMPN 1 Magetan, Pegiat Demokrasi, Penggagas LoGoPoRI, Anggota IKPNI dan juga Keluarga Pahlawan Nasional R.M.T.A. Soerjo.(Foto : Muries Subiyantoro for Lensamagetan.com)

DUNIA pendidikan Magetan khususnya di kalangan pelajar SMP dalam minggu-minggu terakhir ini dihebohkan dengan fenomena “Barcode Korea”. Sebuah fenomena yang makin merebak yang sejatinya fenomena tersebut adalah fenomena yang sama sekali tidak patut untuk ditiru.

Mereka para pelajar nekat menyayati pergelangan tangan sendiri dengan menggunakan pecahan kaca, penggaris, jarum, dan cutter. Fenomena ini telah menjalar ke pelajar di Magetan, di beberapa sekolah terdapat puluhan pelajar melakukan kegiatan tersebut.

Dan jika kita tidak mengantisipasinya, maka fenomena ini ibarat “api dalam sekam” yang kelihatan di permukaan tidak terjadi apa-apa, tetapi sejatinya fenomena itu semakin membesar.

Fenomena “Barcode Korea” ini esensinya dalam perkembangan ilmu kesehatan jiwa disebut dengan Self Harm. Pengertian Self Harm adalah perilaku seseorang untuk melukai diri sendiri dengan berbagai cara tanpa memandang ada atau tidaknya niat dan keinginan untuk mati (NICE, 2015; WHO, 2015).

Yang memprihatinkan kita semua adalah mengapa pelajar setingkat SMP berani melakukan Self Harm? Padahal mereka dalam perkembangan psikologinya adalah masa tumbuh kembang antara meninggalkan masa anak-anak menuju ke masa remaja awal.

Mengapa melakukan Self Harm?

Ternyata ada beberapa faktor yang memicunya, diantaranya adalah: Pertama, adanya childhood traumatic (trauma kekerasan pada masa anak-anak). Kedua, kurangnya kemampuan problem solving (memecahkan masalah) yang tidak diajarkan sejak dini. Ketiga, seseorang merasa kesepian dan mengalami kesulitan dalam beradaptasi.

Keempat, perilaku Self Harm dilakukan untuk menarik perhatian orang lain (seeking attention) supaya orang lain melihat kesulitan/permasalahan pelaku Self.Harm. Kelima, adanya hambatan dalam mengekspresikan emosi dirinya, sehingga melakukan penyaluran rasa sakit psikologisnya. Dan keenam, munculnya keinginan untuk menghukum diri sendiri.

Yang sungguh mengkhawatirkan lagi adalah perilaku atau tindakan Self Harm ini dilakukan tidak hanya sekali, tetapi berulang. Mengapa para pelaku Self Harm ini melakukan tindakannya berulang-ulang? Karena pelaku mendapatkan penguat berupa perhatian dari orang lain. Berikutnya adalah karena pelaku merasakan perasaan lebih baik, setelah melakukan Self Harm. Dan yang terakhir adalah pelaku tidak mengetahui cara menyelesaikan perasaan sakit secara psikis selain melakukan tindakan Self Harm.

Perasaan di balik para pelaku Self Harm adalah merasakan kesedihan yang luar biasa, kebencian pada diri sendiri, dan kemarahan. Dan setelah mereka melakukan tindakan Self Harm maka perasaan mereka merasakan tenang, akan tetapi juga kerap kali disertai dengan perasaan malu, bersalah, jijik, dan benci pada diri sendiri.

Para pelaku Self Harm adalah seseorang yang mulai menampakkan tanda-tanda kelelahan mental. Tanda/ ciri kelelahan mental diantaranya adalah: mulai sering kurang fokus, pikiran mudah teralih, susah konsentrasi, emosi menjadi labil, mudah sedih, mudah tersinggung, bangun tidur badan tidak terasa bugar, menjadi pribadi yang tidak peduli, merasa tidak ada yang perlu diperjuangkan lagi, dan tidak peduli terhadap apapun hasil yang didapatnya.

Adapun beberapa kelompok yang lebih beresiko tinggi melakukan kebiasaan Self Harm adalah: Pertama, remaja berusia 15-24 tahun khususnya perempuan. Kedua, memiliki riwayat kekerasan fisik, emosional, dan seksual. Ketiga, mengidap gangguan perilaku seperti kecanduan alkohol, kecanduan obat-obatan, gangguan makan, gangguan obsesif kompulsif (OCD).

Keempat, sulit mengendalikan atau mengungkapkan emosi. Kelima, dibesarkan dalam keluarga yang menentang amarah. Dan keenam, tidak memiliki sahabat, keluarga, atau kerabat yang bisa dipercaya.

Gejala seseorang melakukan Self Harm adalah sebagai berikut: Pertama, tampak menarik diri atau lebih pendiam dari biasanya.

Kedua, berhenti berpartisipasi dalam kegiatan sosial yang rutin mereka lakukan. Ketiga, mengalami perubahan suasana hati yang cepat. Keempat, mudah marah atau kesal. Kelima, pernah mengalami peristiwa emosional dalam hidup mereka, seperti riwayat kekerasan atau putus cinta yang cukup berat. Keenam, menunjukkan luka atau goresan pada kulit yang tidak dapat dijelaskan. Dan ketujuh, memakai pakaian yang tidak sesuai, misalnya memakai jaket atau baju lengan panjang saat cuaca panas terik.

Upaya Cegah, Awasi, Atasi Self-Harm

Merebaknya fenomena Self-Harm di kalangan pelajar akhir-akhir ini tidak bisa didiamkan dan dibiarkan. Harus ada upaya bersama, kolaborasi positif semua pihak (orang tua, sekolah, dan masyarakat) dalam mengantisipasinya. Upaya pertama yang bisa dilakukan adalah dari pihak keluarga/orang tua pelajar. Yang bisa dilakukan oleh orang tua/keluarga antara lain:

1. Kenali tanda-tanda Self-Harm
2. Mencari cara agar anak mau berbicara kepada orang tua/keluarga
3. Orang tua/keluarga harus menjadi pendengar yang penuh dengan empati dan kepedulian dari anak
4. Membantu anak untuk memecahkan masalah
5. Orang tua/keluarga harus mampu memahamkan kepada anak tentang resiko melukai diri sendiri
6. Memberitahu kepada anak ada banyak cara lain menyelesaikan masalah secara positif selain dengan Self-Harm\
7. Apabila sudah mengalami gejala yang akut, orang tua/keluarga bisa membawa anak ke ahli/profesional untuk penanganan lebih lanjut.

Berikutnya adalah peran dari sekolah atau Guru BK dalam mengantisipasi Self-Harm dengan langkah-langkah sebagai berikut:

1. Melakukan observasi

Observasi yang dilakukan meliputi:
a) Mengenal riwayat klien/konseli/murid
b) Penampilan umum dan perilaku motorik klien/konseli/murid
c) Mood dan Afek klien/konseli/murid
d) Isi dan Proses Pikir klien/konseli/murid
e) Sensorium dan Proses Intelektual klien/konseli/murid
f) Penilaian dan Daya Tilik klien/konseli/murid.

2. Wawancara

Guru BK/Konselor melakukan wawancara dengan klien/konseli/murid dengan teknik-teknik wawancara konseling yang pada esensinya adalah untuk menggali kedalaman tentang kebiasaan, perasaan, peran, orang-orang yang berpengaruh serta peran serta dalam kegiatan kelompok dari klien/konseli/murid.

Setelah melakukan kegiatan observasi dan wawancara, maka Guru BK bisa melakukan kegiatan Konseling Individu dan/atau Konseling Kelompok. Selanjutnya bisa meneruskan ke Tindakan Referal sampai dengan Psikoterapi. Dan jika diperlukan berkoordinasi dengan Psikiater untuk diberikan obat-obatan.

Peran masyarakat juga sangat penting dan sangat diharapkan untuk mengantisipasi Self-Harm. Peran yang bisa dilakukan adalah antara lain: masyarakat jangan bereaksi dengan berlebihan melihat fenomena Self-Harm seperti marah atau panik.

Publik jangan sampai mengancam atau menghukum pelaku Self-Harm, atau memberikan hadiah /iming-iming (jika mereka tidak melakukan Self-Harm), masyarakat juga jangan terlalu berlebihan memberikan pendapat atau nasihat yang bersifat menggurui atau menghakimi kepada pelaku Self-Harm. Karena esensinya mereka butuh didengarkan dan mereka butuh kita terbuka dengan perasaan mereka.

Oleh : Muries Subiyantoro