MAGETAN (Lensamagetan.com) – Denting riang tawa dan haru menyambut Hari Guru Nasional, Selasa, 25 November 2025, di Kabupaten Magetan. Di SMK PGRI 1 Magetan, perayaan berjalan meriah dengan adanya upacara khidmat, lantunan lagu, dan bunga-bunga cantik dari murid-murid yang membanjiri meja guru sebagai tanda cinta.
Namun, di tengah keriuhan yang penuh suka cita itu, sebuah pemandangan kontras dan mengharukan tersaji di sudut kantin. Bukan karena tak sudi ikut dalam perayaan, ada sosok guru, Ibu Titin Dwi Wigati, tampak duduk sendirian, bukan dengan bunga di tangan, melainkan dengan tumpukan kotak-kotak Makan Bergizi Gratis (MBG) yang baru tiba.
Dia tidak sedang menyantap sarapan. Tapi tengah menjalankan ritual sunyi, sebuah janji pengorbanan ia ukir sendiri menjadi pencicip pertama.
Setiap pukul 10 pagi, ketika aroma masakan dari program MBG mulai menyebar, Ibu Titin dan temanya Ibu Arlin akan secara bergantian menyantap menu yang sama persis dengan yang akan diterima ratusan siswa. Mereka adalah garis pertahanan pertama sekolah.
Kepala SMK PGRI 1 Magetan, Agus Triyono, menceritakan bahwa aksi mulia ini bukanlah perintah dari atasan, melainkan inisiatif tulus yang muncul dari keprihatinan.
“Awalnya tidak ada arahan, tapi setelah sering muncul berita keracunan (MBG) di berbagai tempat, mereka sendiri yang mengusulkan dan dengan ikhlas bersedia menjadi pencicip pertama,” kata Agus dengan nada bangga bercampur haru, Selasa (25/11/2025).
Bayangkan risikonya. Di Hari Guru ini, ketika dunia merayakan jasa mereka, Ibu Titin dan Ibu Arlin justru menempatkan diri mereka di posisi paling rentan. Jika terjadi hal buruk, jika makanan itu tak layak, merekalah yang akan terkena dampaknya duluan.
“Kalau dipikir secara negatif, seandainya makanan ini menyebabkan keracunan, merekalah yang akan terkena dampaknya duluan. Ini adalah contoh nyata kenapa guru disebut pahlawan tanpa tanda jasa. Mereka siap berkorban apa saja demi anak didiknya,” tegas Agus.
Program MBG dari Pemerintah telah mengubah banyak hal. Siswa yang dulu sering mengantuk karena tak sempat sarapan, kini bisa belajar dengan konsentrasi penuh. “Dampaknya besar, konsentrasi mereka saat belajar jadi lebih bagus. Dulu banyak yang mengantuk, karena alasan belum sarapan,” terang Agus
Namun, kisah Ibu Titin dan Ibu Arlin mengajarkan kita pelajaran yang jauh lebih dalam dan mengharukan di Hari Guru ini. Pengorbanan seorang guru ternyata jauh melampaui tugas mengajar di depan kelas.
Di balik riuhnya perayaan yang dipenuhi bunga dan ucapan, ada guru-guru seperti mereka yang setiap hari, tanpa sorotan, tanpa tanda jasa baru, rela mempertaruhkan kesehatan dan keselamatan pribadi. Mereka memastikan bahwa setiap gigitan makanan yang diterima anak didiknya adalah gigitan yang aman, gigitan yang sudah disaring oleh kasih sayang tulus seorang Ibu dan Guru.
Mereka adalah pahlawan sunyi yang mengenakan seragam, membuktikan bahwa dedikasi seorang guru adalah bentuk pengorbanan tertinggi, yang rela menanggung risiko demi ketenangan dan kebahagiaan anak didiknya.(niel/red)












