NGANJUK (Lensamagetan.com) – Rumah tangga itu ternyata bukan sekadar tempat tinggal melainkan pondasi paling kecil yang ada dalam masyarakat. Dalam unit inilah setiap individu pertama kali belajar tentang nilai, norma, dan kasih sayang.
Kekuatan atau kelemahan masyarakat dimulai dari kondisi rumah tangga, sebab setiap keluarga adalah bagian tak terpisahkan dari tatanan sosial yang lebih luas. Sayangnya, semakin banyak rumah tangga yang mengalami kerusakan, bahkan hancur akibat berbagai ujian yang sering kali berat untuk dihadapi.
Banyak rumah tangga yang baru dibangun hancur hanya karena masalah sepele. Hal ini sering terjadi pada pasangan yang belum mampu mengendalikan emosi, sehingga perbedaan pendapat berubah menjadi konflik yang tak terkendali.
Selain itu, ketidakpahaman terhadap peran dan tanggung jawab masing-masing sering menjadi pemicu utama kehancuran
Pernikahan di usia muda sering dianggap solusi untuk mengatasi pergaulan bebas yang tidak terkontrol. Dalam banyak kasus, pernikahan dini dipandang sebagai jalan keluar untuk menjaga kehormatan dan menghindari dosa.
Namun, jika pasangan belum dewasa dan tidak memiliki pekerjaan tetap, mencapai stabilitas dalam rumah tangga menjadi tantangan besar. Ketiadaan kesiapan finansial sering kali memicu tekanan yang berujung pada konflik. Selain itu, kekurangan dalam pengelolaan emosi dan komunikasi yang efektif sering kali menjadi pemicu utama pertengkaran yang berkepanjangan.
Kurangnya kematangan emosional dapat memperburuk situasi, terutama ketika pasangan belum memahami cara menghadapi perbedaan pandangan. Ketidakseimbangan peran dalam rumah tangga juga sering kali memunculkan ketegangan.
Di sisi lain, pernikahan dini juga memiliki manfaat, seperti membantu individu menghindari perilaku zina dan pergaulan bebas. Melalui pernikahan, seseorang belajar bertanggung jawab atas tindakan mereka. Namun, penting untuk diingat bahwa pernikahan bukan hanya tentang memenuhi hasrat. Ia memerlukan pemikiran matang dan persiapan serius.
Dalam Al-Qur’an, pernikahan telah disebut sebagai “perjanjian yang kokoh” mitsaqan ghalizha, yang menunjukkan komitmen untuk memikul amanah baru dan menjalani tanggung jawab besar dalam kehidupan berumah tangga. Berdasarkan perspektif Islam, pernikahan dini yang diprakarsai orang tua diperbolehkan karena tidak ada larangan tegas dalam Al-Qur’an dan Hadis. Demikian hadis mengenai pernikahan dini menyatakan:
أَيُّما شابٌّ تَزَوَّجَ في حَدَا ثَةِ سِنّه، عَجَّ شَيطَانُهُ: يَا وَيْلَهُ، عَصَمَ مِنِّي دينَهُ
Adapun penguat makna hadis di atas adalah atsar yakni:
يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنْ مِنْكُمْ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ
Dalam agama Islam, tentang usia pernikahan juga di sebutkan dalam sebuah hadis yang pernah dikatakan oleh Ibnu Mas ud,
يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ، فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ
Dalam hadis tersebut, Rasulullah saw. menggunakan kata “syabab,” yang biasanya diartikan sebagai pemuda. Syabab merujuk pada seseorang yang telah mencapai masa aqil baligh tetapi belum berusia tiga puluh tahun. Masa aqil baligh biasanya terjadi pada usia sekitar 14-17 tahun. Namun, saat ini banyak generasi muda yang telah mencapai kematangan seksual tetapi belum memiliki kedewasaan berpikir.
Menurut mazhab Hanafiyyah, Malikiyyah, dan Syafi’iyyah, baligh pada laki-laki ditandai dengan pengalaman mimpi basah, sedangkan pada perempuan ditandai dengan datangnya haid dan kemampuan untuk hamil.
Namun, jika tanda-tanda ini belum terlihat, Abu Hanifah menetapkan batas usia baligh secara pasti, yaitu 18 tahun untuk laki-laki dan 17 tahun untuk perempuan. Berbeda dengan itu, Imam Syafi’i menetapkan usia baligh pada laki-laki adalah 15 tahun dan perempuan adalah 9 tahun. Perbedaan ini menunjukkan bahwa setiap mazhab memiliki pendekatan yang beragam dalam memahami konsep baligh, baik dari sisi perubahan fisik maupun patokan usia tertentu.
Selain itu, pandangan yang berbeda ini mencerminkan kebijaksanaan ulama dalam mempertimbangkan aspek biologis dan kedewasaan seseorang untuk memahami tanggung jawab dalam kehidupan.
Imam Maliki dan Syafi’i berpendapat bahwa baligh merupakan syarat wajib bagi laki-laki dan perempuan untuk menikah, karena baligh dianggap sebagai tanda kesiapan fisik dan emosional seseorang dalam menjalani kehidupan rumah tangga.
Sebaliknya, Imam Hanafi tidak mensyaratkan baligh dalam pernikahan, karena dalam pandangannya, wali memiliki hak ijbar, yaitu hak untuk menikahkan anak yang belum baligh demi kebaikan mereka. Di Indonesia, peraturan perundang-undangan menetapkan batas usia minimal pernikahan, yaitu 19 tahun untuk laki-laki dan 16 tahun untuk perempuan.
Pemerintah merasa perlu mengatur hal ini meskipun pernikahan dianggap sebagai urusan pribadi, karena pengaturan tersebut bertujuan untuk mengendalikan pertumbuhan penduduk yang tidak terkontrol dan menjaga stabilitas sosial.
Dari perspektif psikologi, pernikahan dini tidak semata-mata dilihat berdasarkan usia kronologis, tetapi juga menyangkut tahapan perkembangan individu yang sering kali belum mencapai kematangan optimal, baik dari sisi biologis maupun psikologis.
Kematangan ini mencakup beberapa dimensi penting, seperti emosi, kognisi, dan kemampuan sosial, yang kesemuanya memainkan peran krusial dalam menentukan kesiapan seseorang untuk memasuki kehidupan pernikahan. Dampak pernikahan dini yang signifikan, termasuk meningkatnya risiko perceraian.
Perlu untuk menyadari bahwa setiap individu membawa latar belakang emosional dan pengalaman hidup yang berbeda-beda ke dalam pernikahan mereka. Dua faktor utama penyebab kehancuran rumah tangga yakni tinggal bersama sebelum menikah dan kehamilan di luar nikah.
Untuk memahami dampak pernikahan dini, perlu dilakukan analisis terhadap dua hal utama, yaitu perkembangan biologis dan psikologis. Perkembangan biologis berkaitan dengan kesiapan fisik pasangan muda, sedangkan perkembangan psikologis menyoroti aspek emosi remaja.
Masa remaja adalah waktu di mana individu masih dalam proses mencari jati diri dan membangun kestabilan emosional. Kestabilan ini sangat penting karena akan memengaruhi kemampuan mereka dalam menghadapi tantangan pernikahan. Jika emosi belum matang, hal ini dapat menyebabkan berbagai kesulitan dalam hubungan. Oleh karena itu, memahami kedua aspek ini secara mendalam sangatlah penting.
Dengan pemahaman yang lebih baik, kita dapat memberikan dukungan yang sesuai untuk membantu mereka. Dukungan ini bertujuan agar generasi muda lebih siap menjalani kehidupan berumah tangga.(*)
Bio narasi: Sakinatul Fitri Ayu Lukfia Pratiwi lahir di Nganjuk Jawa timur 7 Desember 2002. Pendidikan formal di awali di SDN Sawahan 1 selama 6 tahun sambil ngaji di TPQ Sabilul Huda sore hari, pendidikan tsanawiyyah sampai pendidikan Madrasah Aliyah di tempuh di PM Al-Islam Kapas, Sukomoro,Nganjuk selama 6 tahun dan 1 tahun pengabdi di PM Al-Islam.
Sebagai seorang mahasiswa di Universitas Islam Negeri Sayyid Ali Rahmatullah yang rutin mengikuti perkuliahan dan langsung pulang setelahnya, saya menemukan ketertarikan yang mendalam dalam bidang menulis. Keinginan saya untuk terus mengasah keterampilan ini mendorong saya untuk bergabung dengan Komunitas SSCQ. Melalui komunitas tersebut, saya mendapatkan banyak pelajaran dan pengalaman berharga yang membantu saya berkembang lebih jauh dalam dunia penulisan.