MAGETAN (Lensamagetan.com) – Program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) merupakan salah satu program prioritas Pemerintah dalam memberikan kemudahan bagi masyarakat untuk mengurus sertifikat tanah mereka dengan biaya yang minim.
Banyak desa dari berbagai daerah yang mengajukan diri untuk menerima program tersebut. Seperti di Kabupaten Magetan, hampir semua desa dari 18 kecamatan telah mendapatkan program tersebut. Tak sedikit masalah yang timbul ketika program PTSL tersebut berjalan.
Seperti yang terjadi di Desa Balegondo, Kecamatan Ngariboyo. Program PTSL yang telah tuntas akhir Desember 2023 kemarin masih meninggalkan permasalahan.
Menurut informasi yang didapat awak media lensamagetan.com, masih ada beberapa sertifikat yang masih belum diserahkan kepada pemiliknya karena masih ada permasalahan.
Menurut salah satu warga Desa Balegondo yang bernama Sijem, mengaku merasa dibodohi oleh keluarga dan salah satu perangkat desa setempat berkaitan dengan penerbitan sertifikat tanah warisan dari orang tuanya.
“Saya ini ada 5 bersaudara, tapi yang 2 saudara saya sudah meninggal, jadi tinggal tiga bersaudara, Kakak saya nomor 2 Samirah, kakak nomor 4 Poniyem, dan saya sendiri anak nomor 5,” terangnya.
Saat ditemui di rumah anaknya, Sijem juga menjelaskan rentetan kronologi adanya keanehan penerbitan sertifikat tanah warisan orang tuanya serta adanya dugaan pemalsuan dokumen yang dilakukan oleh sejumlah oknum.
“Jadi orang tua kami mewariskan sebidang tanah untuk dibagi pada kedua kakak saya Samirah dan Poniyem, dan saya sendiri diwariskan rumah. Seiring berjalannya waktu kakak saya Samirah tidak mempunyai keturunan (anak) dan mewariskan bagian tanahnya untuk saya (Sijem), wasiat itu banyak saksi yang mengetahui baik dari pihak keluarga maupun perangkat desa,” ujarnya.
Lebih lanjut, beliau menceritakan bahwa setiap tahun pihaknya juga rutin membayar SPPT PBB (pajak) atas nama kakaknya Samirah. Keanehan terjadi saat adanya pendaftaran program PTSL dari keluarga Poniyem (kakak nomor 4) yang mengatakan bahwa tanah tersebut akan disertifikatkan sehingga Sijem dimintai sejumlah uang untuk ikut patungan membayar biaya administrasi pembuatan sertifikat PTSL.
“Saya juga dimintai uang untuk PTSL katanya mau disertifikatkan jadi 2. Tapi nyatanya lain, itu kan tanah warisan orang tua, harusnya saya dimintai tanda tangan persetujuan sebagai ahli waris, tapi ini tidak sama sekali, tiba-tiba sertifikat jadi atas nama anaknya kakak saya (Poniyem),” jelasnya.
Dari situlah, keluarga Sijem merasa dibohongi dan tidak terima sehingga mencoba untuk meminta klarifikasi pada pihak desa dalam hal ini salah satu Kamituwo Desa Balegondo.
“Saya sudah mencoba minta konfirmasi pada kamituwo yang bernama Heru, jadi katanya itu terjadi karena tergesa-gesa.
Tapi kalau tergesa-gesa tidak mungkinlah, semua ahli waris kan harusnya diberitahu, bahkan tanda tangan persetujuan, tapi kok ibu (Sijem) mertua saya sama sekali tidak diberitahu dan dimintai persetujuan,” ungkap menantu Sijem yang bernama Sugeng.
Melihat dari kekisruhan yang muncul, dapat disimpulkan permasalahan tersebut telah melanggar Kitab Undang-Undang Hukum Perdata serta Peraturan Pemerintah No 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
Disamping itu, muncul dugaan berkaitan dengan pemalsuan tanda tangan ahli waris untuk permohonan pengurusan sertifikat tanah melalui program PTSL. Pasalnya Sijem yang notabenenya sebagai salah satu ahli waris merasa belum pernah menandatangani surat pernyataan, kwitansi dan surat lainnya yang berkaitan dengan persetujuan peralihan hak sebidang tanah milik orang tuanya pada keponakannya (anak dari Poniyem).(niel/red)