Opini  

Beri Setengah Saja

Foto Ilustrasi Surat Suara. (Lensamagetan.com/Istimewa)

Pernah tahu lagu Utha Likumahuwa, Beri Setengah Saja? Lagu itu dipopulerkan penyanyi berdarah Ambon pada 1987. Lagu itu diciptakan Odie Agam, dan menjadi salah satu hits Utha pada masanya

Lirik lagunya begini, janganlah beri padanya seluruh cintamu. Kata Ibuku, sekadar untuk menjaga diri bila berpisah, siapa tahu.

Apa pesan dari lagu itu? Persis. Sakit hati karena cinta mengalahkan rasa sakit gigi. Dan, dengan memberi setengah, sakit hati tidak terlalu perih. Tujuan, sebagai antisipasi dengan menghitung betul teori dampak.

Lagu ini pas sebagai pengingat bagi para pendukung capres dan cawapres setelah pemilihan usai, setelah diumumkan pemenang versi hitung cepat dan nanti resmi oleh KPU. Agar, tak cinta setengah mati. Tak mendukung dengan cara membabi buta. Menghilangkan nalar dan pikiran, nurani dan rasa.

Cerita tentang mendukung mati-matian selalu muncul dalam setiap periode pemilihan presiden dan wakil presiden.
Pada pemilihan presiden 2019 lalu, perpecahan terjadi antara kubu pendukung Joko Widodo dan pendukung Prabowo Subianto. Di media sosial, kelompok pendukung Jokowi disindir dengan sebutan “Cebong”, sedang kubu Prabowo dengan “Kampret”.

Polarisasi ini seperti bertahan cukup lama. Bahkan, polarisasi itu masuk ke lingkup kehidupan di sekitar kita. Sehingga, muncul cerita-cerita “pertengkaran” antar teman, antar keluarga.

Ternyata, di pemilu 2024, polarisasi tak setajam ‘cebong’ dan ‘kampret’. Tapi, mendukung mati-matian dengan alasan tak mendasar masih terjadi. Meskipun, mungkin hanya satu dua.

Di Jawa Barat muncul, cerita seorang anak perempuan “dicoret” dari Kartu Keluarga (KK) karena beda pilihan dengan bapaknya.
Terjadi di Bekasi, karena sang bapak pendukung fanatik 03, sementara anaknya membela 02.

Ada juga cerita, dalam keluarga besar sebuah Trah juga terjadi “kisruh”. Karena mati-matian mendukung 01, seorang tante sampai mengatakan, “Ngaca, kasihanilah dirimu sendiri, memangnya kontribusimu apa?”
Kata-kata itu dikeluarkan pada keponakannya yang mendukung 02.
Keluarga ini lupa, keluarga harusnya tetap keluarga. Keluarga tak bisa dikalahkan oleh apapun, apalagi hanya karena soal beda pilihan calon presiden.
Kalau mau diperdalam, apa iya jasa anggota keluarga terhadap anggota keluarga lainnya “kalah” oleh salah satu capres. Rasanya, kok tidak. Berhenti menyakiti, karena beda pilih.

Pemilihan umum bukan main bola yang bertanding, berhadapan dan saling mengalahkan. Ini wadah untuk menyalurkan aspirasi pilihan kita sesuai kepentingan dan hati kita. Proses demokrasi yang terjadi rutin setiap lima tahun sekali.

Pemilu selesai, tak perlu lagi memperpanjang perdebatan calon yang didukung. Kalau ada dugaan penyimpangan, silakan dilaporkan. Ada lembaga yang berwenang mengurusinya.
Seduh kopi, dan putar lagu Beri Setengah Saja-nya Utha Likumawuha. Janganlah beri padanya seluruh cintamu. Kata Ibuku, sekadar untuk menjaga diri bila berpisah, siapa tahu.

*Ditulis Oleh: Fariansyah, Ketua Harian Komite Komunikasi Digital (KKD) Magetan