Opini  

Magetan, Darurat Kekerasan Seksual Anak?

Muries Subiyantoro, Guru BK SMPN 1 Magetan, Pegiat Demokrasi dan Penggagas LoGoPoRi. (Ist/ Lensa Magetan).

Magetan Fenomena

Judul tulisan opini kali ini sengaja saya beri tanda tanya (?), karena ada 2 (dua) kemungkinan jawaban dari pertanyaan di atas, Ya atau Tidak. Jika Tidak, maka kemungkinan jawabannya adalah Magetan tidak mengalami kondisi darurat kekerasan seksual anak. Tetapi jika jawabannya Ya, maka ada potensi Magetan saat ini sedang mengalami kondisi darurat kekerasan seksual anak.

Di awal Maret, harian Radar Magetan memuat berita tentang “Pulihkan Trauma, Datangkan Psikolog”, dan di dalam berita tersebut ditampilkan fenomena kekerasan seksual di Magetan tahun ini. Terdapat 6 (enam) kasus kekerasan seksual selama Januari-Februari 2024, 4 (empat) di antaranya melibatkan anak, 2 (dua) lainnya kasus dewasa. Pada tahun 2023, usia terendah kekerasan seksual yang ditangani umur 14 tahun. Sedangkan, tahun 2024, usia terendah yang ditangani umur 12 tahun.

Membaca fenomena di atas, jika kita mau jujur dan terbuka, sebenarnya peristiwa kekerasan seksual khususnya pada anak adalah sebuah fenomena gunung es atau bola salju. Di mana fenomena itu dari waktu ke waktu yang semulanya kecil atau sedikit semakin besar atau banyak. Dan ini harus menjadi keprihatinan kita semua sebagai warga masyarakat dalam menatap masa depan anak dan putra-putri didik kita.

Belajar dari berbagai macam kasus kekerasan seksual baik pada anak maupun dewasa di tahun kemarin dan di triwulan tahun ini, maka harus ada langkah dan terobosan yang di ambil oleh semua stakeholders untuk melakukan pencegahan dan menghentikan fenomena kekerasan seksual di masa mendatang.

Kekerasan Seksual Terhadap Anak
Kekerasan seksual terhadap anak adalah suatu bentuk tindakan yang dilakukan orang dewasa atau orang yang lebih tua, yang menggunakan anak untuk memuaskan kebutuhan seksualnya. Bentuk-bentuk kekerasan seksual ada beragam, seperti meminta atau menekan anak untuk melakukan aktivitas seksual, memberikan paparan yang tidak senonoh dari alat kelamin anak, menampilkan pornografi untuk anak, melakukan hubungan seksual dengan anak, kontak fisik dengan alat kelamin anak, dan melihat alat kelamin anak tanpa kontak fisik di luar tindakan medis.

Maraknya kasus kekerasan seksual terhadap anak yang terjadi saat ini sangat meresahkan masyarakat. Bagaimana tidak, anak merupakan generasi penerus orang tua dan generasi penerus bangsa telah dirusak di masa-masa pertumbuhannya. Negara kita sebenarnya adalah salah satu negara yang sudah menandatangani dan meratifikasi Konvensi Hak Anak, sehingga negara memiliki kewajiban untuk menerapkan hal-hal dalam konvensi tersebut.

Hukum Internasional melalui pembentukan Konvensi Hak Anak (Convention on the Right of the Children) telah memosisikan anak sebagai subyek hukum yang memerlukan perlindungan atas hak-hak yang dimilikinya. Perlindungan hukum menurut Konvensi Internasional tentang Hak-Hak Anak diantaranya mengenai hak untuk mendapatkan perlindungan khusus jika anak mengalami konflik dengan hukum, hak untuk mendapatkan perlindungan khusus jika anak mengalami eksploitasi sebagai pekerja anak, hak untuk mendapatkan perlindungan khusus jika anak mengalami eksploitasi dalam penyalahgunaan obat-obatan, hak untuk mendapatkan perlindungan hukum jika anak mengalami eksploitasi seksual dan penyalahgunaan seksual, hak untuk mendapatkan perlindungan khusus dari penculikan, penjualan dan perdagangan anak (Arifah, “Perlindungan Hukum Terhadap Anak Sebagai Korban Pelecehan Seksual”)

Pentingnya Pendidikan Seksual
Pendidikan seksual merupakan suatu keterampilan dan pengetahuan yang perlu diberikan sedini mungkin kepada anak mengenai perilaku seksual untuk menghadapi hal-hal yang akan terjadi di masa depan seiring bertambahnya usia serta membentuk karakter dan pola perilaku agar mampu terhindar dari perilaku-perilaku yang beresiko terhadap kekerasan seksual maupun perilaku seksual menyimpang.

Pendidikan seksual sangat penting bagi anak karena hal tersebut merupakan proses pengajaran dan pembelajaran yang difokuskan pada pengajaran dan pembelajaran berbasis kurikulum tentang aspek kognitif, emosional, fisik dan sosial seksualitas. Tujuan pendidikan seksual untuk membekali dan menyadarkan anak pentingnya menjaga kesehatan, kesejahteraan dna martabat mereka dengan cara penanaman perlindungan diri dalam mengembangkan hubungan sosial dan seksual yang baik.

Setiap proses pendidikan pada prinsipnya memerlukan materi yang disesuaikan dengan kebutuhan peserta didik, karakteristik usia, kematangan psikologi serta intelektualnya. Perlakuan pada anak usia dini dan remaja tentunya berbeda. Pada anak usia dini, hendaknya materi pendidikan seks diberikan oleh pendidik maupun orang tua dengan memahami rasa ingin tahu anak, memberikan penjelasan sesuai dengan kemampuan kognitif, memberikan tanggapan dengan jujur dan bersikap proporsional, serta dapat diintegrasikan dengan pembelajaran lainnya.

Pada usia remaja (SMP sederajat), di Modul Bimbingan dan Konseling terdapat materi tentang Perkembangan Remaja dan Menjaga Kesehatan Reproduksi Remaja. Pada layanan informasi inilah pemahaman tentang pendidikan seksual bisa diberikan dan dikembangkan oleh pendidik dengan menggunakan strategi melalui bimbingan klasikal di kelas, bimbingan pribadi dan bimbingan kelompok, maupun konseling pribadi dan konseling kelompok, serta bisa dikolaborasikan dengan guru mata pelajaran lain.

Semangat Gotong-Royong
Apabila kita ingin kekerasan seksual khususnya pada anak di masa mendatang tidak akan menjadi fenomena gunung es atau bola salju, maka selain pentingnya memberikan pendidikan seksual pada anak usia dini dan remaja, hal lain yang perlu diperhatikan adalah kolaborasi seluruh stakeholders terkait (khususnya orang tua/keluarga, sekolah atau masyarakat dan pemerintah) dalam mencegah dan menanggulangi kekerasan seksual.

Peran orang tua atau keluarga menjadi hal pertama dalam mencegah kekerasan seksual anak. Keluarga bisa berperan memberikan perlindungan seksual dengan mengupdate pengetahuan terhadap seksualitas dan kekerasan seksual dan memperkuat komunikasi antara orang tua dengan anak, khususnya dalam hal pendidikan seksual. Jangan sampai orang tua menjadi bagian dari persoalan kekerasan seksual itu sendiri, di mana terdapat banyak peristiwa orang tua baik kandung ataupun tiri justru melakukan kekerasan seksual pada anak kandung atau anak tirinya sendiri.

Masyarakat dan sekolah juga mempunyai andil penting dalam upaya melakukan pencegahan terhadap kekerasan seksual. Konsep Sekolah Ramah Anak dan Sekolah Siaga Kependudukan misalnya, bisa menjadi pioner dan garda terdepan dalam memberikan sosialisasi tentang bahaya kekerasan seksual anak dan upaya pencegahannya. Sedangkan pemerintah melalui dinas atau instansi terkait dengan daya jangkau yang dimilikinya bisa melakukan kegiatan yang massif dan progresif dalam memberikan pengetahuan tentang kekerasan seksual anak di lingkungan sekolah, lembaga atau organisasi sosial kemasyarakatan, serta berbagai komunitas sosial yang ada di masyarakat.

Sekali lagi, kita tidak ingin Magetan menjadi darurat kekerasan seksual anak. Oleh sebab itu, marilah kita semua gotong royong, bahu-membahu, Saiyeg Saeko Proyo melawan Kekerasan Seksual Anak.

 

Oleh : Muries Subiyantoro

Guru BK SMPN 1 Magetan, Pegiat Demokrasi, dan Penggagas LoGoPoRI
(Local Government and Political Research Institute) Magetan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *