Opini  

Mengingat Kembali Peristiwa 10 November 1945

Dr. Drs.H.Suprawoto, S.H, M.Si, Bupati Magetan Periode 2018-2023.

Baru saja kita memperingati Hari Pahlawan 10 November. Benarnya sudah 78 tahun peristiwa itu berlalu. Dulu semangat kepahlawanan selalu membuncah setiap menjelang peringatan itu tiba. Tapi tidak dengan akhir-akhir ini. Peristiwa yang demikian heroik, tenggelam bahkan seperti tidak ada gaungnya. Kalah dengan hiruk-pikuk peristiwa politik seperti menjadi menu wajib makan setiap hari.

Bahkan peristiwa gerak jalan Mojokerto-Surabaya yang sejak awal dulu dedikasikan untuk peringatan Hari Pahlawan, dalam peringatan tahun 2023 ini juga relatif tidak semeriah ketika era sebelum reformasi. Ketika itu, setiap menjelang gerak jalan Mojokerto-Surabaya masyarakat sudah dibuat heboh. Sebulan sebelum puncak acara dimulai, setiap daerah para pemuda, perorangan dan instansi semua sibuk latihan. Untuk menyiapkan fisik dan mental.

Kehebohan persiapan peringatan Hari Pahlawan tentu sebagai bentuk kehebohan menjelang, saat dan setelah peristiwa 10 November 1945. Hanya bedanya, kehebohan peristiwa November 1945 diwarnai semangat heroik untuk mempertahankan proklamasi bangsa Indonesia.

Peristiwa sekitar 10 November 1945 bisa kita lihat dalam kronik media baik yang berbahasa Indonesia dan terbit di Indonesia. Atau media berbahasa Asing yang terbit di luar negeri. Untuk media berbahasa Indonesia tentu semua media yang diterbitkan para nasionalis di Indonesia membela negara yang baru merdeka.

Lihat saja berita koran Kedaulatan Rakyat Yogyakarta tanggal 7 November 1945. Dengan headline di koran tersebut yang sangat provokatif dalam menyambut peristiwa 10 November 1945 dengan judul “60 Miljoen Kaoem Moeslimin Indonesia Siap Berjihad Fi Sabilillah.” Bagaimana media dalam beritanya mengajak semua komponen bangsa untuk berjuang demi mempertahankan kemerdekaan.

Namun keterbatasan komunikasi ketika itu dan masih belum banyaknya wartawan bangsa Indonesia yang memiliki reputasi internasional menyebabkan berita keluar tersumbat. Tidak mengherankan bila perkembangan perjuangan bangsa Indonesia masih belum banyak diketahui oleh masyarakat international.Tak mengherankan pula bila kemudian opini international digiring dan dikuasai media asing. Utamanya Belanda dan Inggris.

Kantor berita asing lebih memilih berhubungan dengan reporter Inggris dan Belanda dari pada bangsa kita untuk meliput kejadian di Indonesia.Tentu para propagandais dengan mudah menciptakan gambaran negatif tentang gerakan kemerdekaan Indonesia. Dan itu memang telah menjadi tujuan utama mereka.

Berita tentang Indonesia banyak terjadi kebohongan bila kita baca sesuai kenyataan situasi saat itu. Bangsa Barat berusaha terus ingin berkuasa atas Indonesia yang telah menyatakan kemerdekaan. Wajar karena yang menulis para jurnalis Barat. Tentu dengan sudut pandang dan posisi kita.

Bisa kita lihat, pandangan mereka terhadap Republik Indonesia yang baru merdeka. Menurut mereka terlahir dari konspirasi dengan Jepang. Sukarno dianggap sebagai kolaborator. Para pejuang dianggap ekstrimis yang haus darah. Dan Belanda yang dianggap pemerintahan yang sah dan masih mempunyai hak atas bangsa Indonesia. Tentu pemerintah Belanda dibalik itu semua.

Menarik untuk melihat revolusi Indonesia dari sudut pandang negara tetangga kita Australia misalnya. Di sana masyarakatnya bergejolak mendukung kemerdekaan bangsa Indonesia. Terjadi demontrasi mendukung kemerdekaan. Utamanya para buruh. Pemogokan juga dilakukan. Akibatnya tentu ekonomi terganggu.

Tidak demikian dengan berita media di Australia. Berita yang dimuat Australia, Inggris dan Belanda hampir serupa isinya. Karena berita yang dimuat bersumber dari press release dari pihak militer Inggris yang telah datang sebagai tentara Sekutu yang memenangkan perang dengan dalih menjaga ketertiban, keamanan dan melucuti tentara Jepang.

Menarik membaca buku “Kronik Pertempuran Surabaya-Media Asing dan Historiografi Indonesia” bila kita ingin melihat bagaimana media asing memandang revolusi yang terjadi di Indonesia. Kita bisa membaca setiap tahap perkembangan peristiwa pecahnya pertempuran yang sangat heroik.

Secara teoritik setiap krisis, seperti revolusi yang terjadi, akan melahirkan pahlawan baru. Kekalahan Jepang atas Sekutu menjadikan krisis di Indonesia. Lahir Sukarno-Hatta sebagai proklamator bangsa. Sekaligus pahlawan dan bapak bangsa. Demikian juga ketika Inggris atas nama Sekutu mendarat di Surabaya, terjadi krisis di kota ini.

Bung Tomo sebagai pahlawan lahir dari rahim krisis ketika itu. Dan Bung Tomo yang kemudian membakar semangat para pemuda melalui Radio Pemberontak untuk tidak menyerah dan lebih baik mati dari pada dijajah kembali. Muncul juga kemudian Muriel Stuart Walker, seorang warga negara Amerika yang lahir di Skotlandia yang lebih dikenal di Indonesia K’tut Tantri.

Sebagai Wanita muda yang ketika berprofesi sebagai penulis, dan pelukis tertarik ketika berteduh di Hollywood Boulevard depan gedung film. Secara kebetulan film yang diputar berjudul Bali, The Last Paradise atau Bali Surga Terakhir. Film yang menggambarkan keindahan Bali tahun 1930-an. Dari melihat film tersebut kemudian K’tut Tantri memutuskan untuk mengunjungi Bali.

Di musim dingin berangkatlah K’tut Tantri dengan menumpang kapal Batavia dari Pelabuhan New York menuju Bali. Sebuah perjalanan sangat panjang dan memakan waktu berbulan-bulan ketika itu. Sampailah di Bali untuk menikmati keindahan alam, budaya yang diimpikannya. Dalam sebuah perjalanan, mobil berhenti di depan pura karena bensin habis. Masuklah kemudian ke dalam pura. Sebuah tempat yang dikira pura ternyata istana raja Bangli.

Diterimalah K’tut Tantri oleh raja Bangli. Bahkan kemudian diangkat sebagai anak dengan nama K’tut Tantri. Dan di Bali aktivitasnya melukis dan membantu masyarakat. Akibatnya K’tut Tantri sangat tidak disukai oleh Belanda karena kedekatannya dengan kaum pribumi.

K’tut Tantri menetap di Bali mulai tahun 1932. Ketika Jepang menguasai Indonesia, K’tut Tantri ditahan Jepang. Disiksa yang tidak mengenal kemanusiaan, karena dianggap membantu perjuangan rakyat Indonesia. Dan cerita mengenai kehidupan serta perjuangan K’tut Tantri bisa dibaca di buku yang ditulisnya dalam bentuk novel dengan judul Revolt in Paradise (1960) dan cetakan ulang dalam bahasa Indonesia “Revolusi di Nusa Damai” (1982).

Buku yang demikian menarik untuk dibaca. Sebuah perjalanan bangsa Asing yang begitu cintanya kepada Indonesia. Begitu cintanya kepada Indonesia, ketika pecah peristiwa 10 November 1945, K’tut Tantri membantu perjuangan arek-arek Surabaya melalui siaran radio bersama Bung Tomo. Dari siaran berbahasa Inggris yang dilakukan K’tut Tantri pada akhirnya, kondisi senyatanya yang terjadi diketahui oleh dunia internasional.

Bahkan dalam perjalanan selanjutnya, empat tahun setelah kemerdekaan opini internasional sudah berbalik. Sekutu mendukung kemerdekaan Indonesia, lepas dari segala kepentingan negara masing-masing. Peristiwa heroik yang terjadi di Surabaya tentu bisa dimaknai begitu besar arti kemerdekaan bagi bangsa Indonesia. Nyawa diserahkan. Lebih baik mati dari pada dijajah kembali.

Bayangkan, kemerdekaan yang baru seumur jagung, sudah harus menghadapi kekuatan militer asing yang demikian canggih. Akibat dari pertempuran yang terjadi tanggal 10 November 1945 kota Surabaya hancur lebur. Kehancuran kota Surabaya malahan dianggap paling parah bersama kota Manila selama Perang Dunia II.

Namun sayang, bangsa ini sepertinya sudah melupakannya. Bahwa bulan November 1945 telah memberikan catatan heroik tentang bangsa ini. Kita khawatirkan, jangan-jangan kelak peristiwa 10 November 1945 di Surabaya sebagai catatan peristiwa biasa.

Bayangkan kalau tidak ada Bung Tomo, K’tut Tantri, dan tokoh-tokoh lainnya mungkin jalan sejarah negeri ini akan berbeda. Tidak ada salahnya kalau kemudian pada kesempatan ini saya coba mengingatkannya.

Oleh : Suprawoto Bupati Magetan Periode 2018 – 2023.