Opini  

Koperasi Merah Putih, Harapan Ekonomi Desa atau Ancaman Tirani Lokal?

Agus Pujiono, Divisi Data Dan Sumber Daya Forum Rumah Kita.(Lensamagetan.com/Ist)

MAGETAN (Lensamagetan.com) – Koperasi Desa Merah Putih (KDMP), sebuah inisiatif strategis pemerintah melalui Instruksi Presiden No. 9 Tahun 2025, menargetkan pembentukan 80.000 koperasi di seluruh Indonesia untuk memajukan ekonomi desa.

Dengan dukungan modal hingga Rp 5 miliar per koperasi dari Bank Himbara, fasilitasi lahan, pelatihan, hingga akta notaris gratis, program ini menjanjikan ketahanan pangan, pengentasan kemiskinan, dan pemutusan jeratan pinjaman informal seperti rentenir, tengkulak, hingga pinjol.

Namun, di balik visi mulia ini, terdapat ancaman serius: tanpa proses rekrutmen pengurus yang transparan dan inklusif, Koperasi Merah Putih berisiko menjadi “bom waktu” yang justru memperkuat tirani lokal dan melemahkan perekonomian desa.

Kurangnya Transparansi dalam Rekrutmen Pengurus Pengamatan di lapangan, termasuk di sejumlah desa di Kabupaten Magetan, menunjukkan bahwa proses rekrutmen pengurus koperasi sering kali tidak transparan. Pengurus kerap dipilih dari lingkaran terdekat kepala desa, perangkat desa, atau lembaga desa tertentu, tanpa melibatkan masyarakat luas.

Proses pengumuman lowongan atau penjaringan kandidat yang terbuka nyaris tidak dilakukan. Akibatnya, koperasi yang seharusnya menjadi alat pemberdayaan ekonomi justru berpotensi menjadi alat kekuasaan bagi segelintir elit lokal.
Ketidaktransparan ini membawa sejumlah risiko. Pertama, masyarakat luas merasa dikucilkan, mengurangi rasa kepemilikan terhadap koperasi dan partisipasi aktif dalam program.

Kedua, pengurus yang dipilih berdasarkan kedekatan, bukan kompetensi, berisiko gagal mengelola dana besar—antara Rp3 hingga Rp5 miliar—serta usaha kompleks seperti gerai sembako, simpan pinjam, atau cold storage. Ketiga, dominasi elit lokal dalam pengelolaan koperasi dapat memperkuat struktur kekuasaan yang tidak sehat, menciptakan ketidakadilan dalam distribusi manfaat.

Di Jember, misalnya, DPRD setempat telah menyoroti kurangnya transparansi dalam pengelolaan program desa di 248 desa/kelurahan, sebuah peringatan bahwa masalah ini bersifat sistemik.

Bukti dan Konteks yang Mengkhawatirkan
Menurut Petunjuk Pelaksanaan Menteri Koperasi No. 1 Tahun 2025, pembentukan KDMP wajib melibatkan Musyawarah Desa Khusus (Musdes) yang terbuka, dengan kehadiran beragam elemen masyarakat, termasuk tokoh masyarakat, pemuda, kelompok marginal, dan perempuan.

Publikasi melalui media digital juga diwajibkan untuk memastikan keterbukaan. Namun, realitas di lapangan sering kali jauh dari pedoman ini. Struktur pengurus koperasi, yang minimal terdiri dari lima orang (ketua, wakil ketua bidang usaha dan keanggotaan, sekretaris, bendahara), juga seharusnya bebas dari pimpinan desa hingga tingkat dukuh untuk menjaga independensi. Sayangnya, aturan ini sering diabaikan.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah memperingatkan risiko korupsi dalam program KDMP jika tata kelola tidak transparan. Dana besar yang dialokasikan rentan disalahgunakan tanpa pengawasan ketat. Selain itu, beberapa unggahan di platform X menunjukkan sentimen publik yang khawatir bahwa program ini sarat kepentingan politik dan berisiko gagal jika dikelola oleh pihak yang tidak kompeten.

Pengalaman program Koperasi Unit Desa (KUD) era Orde Baru menjadi cermin: politisasi dan kurangnya profesionalisme menyebabkan kegagalan yang masif. Koperasi Merah Putih harus belajar dari sejarah agar tidak mengulang kesalahan yang sama.

Risiko Kegagalan Program
Pengelolaan dana sebesar Rp3–5 miliar membutuhkan kecakapan manajerial yang sering kali tidak dimiliki oleh warga desa tanpa pelatihan memadai. Pengalaman Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) menunjukkan tantangan serupa dalam menemukan pengelola yang kompeten.

Tanpa pengurus yang mumpuni, koperasi berisiko gagal mengelola usaha seperti distribusi sembako atau simpan pinjam, yang justru dapat memperburuk kondisi ekonomi desa. Lebih jauh, tanpa pengawasan ketat, dana koperasi rentan disalahgunakan, sebagaimana diingatkan oleh KPK. Jika masalah ini terjadi secara masif, Koperasi Merah Putih hanya akan menjadi program dengan nama besar namun tanpa hasil nyata.

Solusi untuk Masa Depan yang Lebih Baik
Untuk mencegah Koperasi Merah Putih menjadi “bom waktu” kehancuran, langkah-langkah berikut perlu diterapkan:

1.  Transparansi dalam Rekrutmen; Desa harus mengumumkan lowongan pengurus secara terbuka melalui papan informasi, media sosial, atau situs web desa dengan hashtag seperti #KopdesMP. Penjaringan kandidat harus berdasarkan kriteria kompetensi yang jelas, seperti pengalaman di bidang ekonomi, manajemen, atau koperasi, dan melibatkan Musdes yang inklusif.

2.  Peran Aktif Dinas Terkait ; Dinas Koperasi kabupaten/kota harus memfilter calon pengurus untuk memastikan kompetensi dan independensi. Pelatihan manajerial berbasis digital, seperti yang diinstruksikan oleh Kementerian Koperasi, harus diintensifkan untuk meningkatkan kapasitas pengurus.

3.  Pengawasan dan Akuntabilitas; Bentuk tim pengawas independen, dengan kepala desa hanya sebagai ketua pengawas, bukan pengurus operasional. Laporan keuangan dan kinerja koperasi harus dipublikasikan secara berkala (misalnya, setiap empat bulan) melalui media digital atau papan informasi desa.

4.  Partisipasi Masyarakat Luas; Sosialisasi program harus dilakukan secara kreatif, misalnya melalui poster, drama tradisional, atau grup WhatsApp, untuk mengajak warga menjadi anggota koperasi. Pastikan keterwakilan kelompok marginal dan perempuan dalam pengurus untuk mencerminkan keadilan sosial.

5.  Peran KPK dan OJK; KPK perlu memantau pelaksanaan program sejak awal untuk mencegah korupsi, sementara OJK dapat mengawasi tata kelola keuangan koperasi agar transparan dan modern.
Mencegah Lebih Baik daripada Mengobati
Koperasi Merah Putih memiliki potensi besar untuk menjadi motor ekonomi desa, tetapi tanpa transparansi, kompetensi, dan pengawasan, program ini berisiko memperkuat tirani lokal dan gagal mencapai tujuan. Seperti kata pepatah, mencegah lebih baik daripada mengobati. Dengan filter ketat dari dinas terkait, partisipasi masyarakat yang inklusif, dan pengawasan yang kuat, Koperasi Merah Putih dapat menjadi harapan nyata bagi kesejahteraan desa.

Kepada masyarakat, mari desak pemerintah desa untuk melaksanakan Musdes secara terbuka, memilih pengurus berbasis kompetensi, dan memanfaatkan saluran informasi seperti situs web desa atau media sosial untuk memastikan transparansi.

Hanya dengan langkah-langkah ini, Koperasi Merah Putih dapat menjadi pilar ekonomi desa yang kuat, bukan sekadar nama besar tanpa dampak nyata.

Oleh : Agus Pujiono, Divisi Data Dan Sumber Daya Forum Rumah Kita.