MAGETAN (Lensamagetan.com) – Pasca Reformasi 1998 bangsa kita telah mentasbihkan bahwa demokrasi adalah sistem politik yang diterapkan dalam tata kelola kenegaraan dan pemerintahan. Hal ini belajar dari suramnya perjalanan demokrasi di Era Orde Baru, era di mana otoritarianisme menjadi panduan utama dalam menjalankan roda kepemimpinan dan kepemerintahan, sehingga ruang pilar-pilar demokrasi pada saat itu menjadi mati suri.
Pilar demokrasi yang terdiri dari eksekutif, legislatif, yudikatif, dan pers di Era Pasca Orde Baru diharapkan mampu membuat tata kelola pemerintahan yang baik.
Namun beberapa hari terkahir ini publik disuguhkan realita yang cukup membuat kaget dan heran ketika muncul sebuah Rancangan Undang-Undang Penyiaran (RUU Penyiaran) yang tengah disusun oleh DPR yang berpotensi mengancam iklim demokrasi dan kebebasan pers di tanah air.
Sejumlah pasal multitafsir dan sangat berpotensi digunakan oleh alat kekuasaan untuk membatassi kebebasan sipil dan partisipasi publik. Salah satu yang menjadi sorotan adalah substansi Pasal 50 B ayat (2) huruf c terkait larangan liputan investigasi jurnalistik.
Tidak heran apabila beberapa waktu lalu sebanyak 12 organisasi wartawan dan perusahaan media di Magetan menyampaikan aspirasi ke DPRD Magetan untuk melakukan penolakan terhadap draft RUU Penyiaran yang dianggap membungkam kebebasan pers. Kawan-kawan jurnalis di Magetan meminta untuk menolak, mencabut atau mengkaji ulang draf yang ada dengan melibatkan organisasi wartawan dan publik secara luas.
RUU Penyiaran yang tiba-tiba muncul dengan berbagai kontroversi yang mengiringinya mensiratkan bahwa ada upaya-upaya untuk mencoba melakukan pembungkaman kebebasan pers. Apabila potensi ini benar, maka hal ini akan membuat keprihatinan semua pihak. Sebagai pilar keempat demokrasi, media punya peran strategis dan taktis dalam membangun demokrasi, khususnya yang melibatkan masyarakat.
Draft naskah RUU Penyiaran per 24 Maret 2024 yang sedang berproses di Badan Legislasi (Baleg) DPR RI, terkait Standar Isi Siaran (SIS) yang memuat batasan, larangan dan kewajiban bagi penyelenggara penyiaran serta kewenangan KPI, secara tersurat memuat ketentuan larangan liputan eksklusif investigasi jurnalistik.
Jurnalisme investigasi merupakan aktivitas mengumpulkan menulis, mengedit, dan menerbitkan berita yang bersifat investigatif, atau sebuah penelusuran panjang dan mendalam terhadap suatu kasus yang dianggap memiliki kejanggalan.
Menurut Dandhy Dwi Laksono dalam buku Jurnalisme Investigasi: Trik dan Pengalaman Para Wartawan Indonesia Membuat Liputan Investigasi di Media Cetak, Radio, dan Televisi (2010) terdapat 5 (lima) elemen penting dalam jurnalisme investigasi.
Pertama, mengungkap kejahatan terhadap kepentingan publik, atau tindakan yang merugikan orang lain. Kedua, skala dari kasus yang diungkap cenderung terjadi secara luas atau sistematis. Ketiga, menjawab semua pertanyaan penting yang muncul serta memetakan persoalan dengan gamblang. Keempat, mendudukkan aktor yang terlibat secara lugas dengan didukung bukti kuat. Kelima, publik dapat memahami kompleksitas masalah yang dilaporkan serta bisa membuat keputusan atau perubahan berdasarkan laporan investigasi.
Catatan Kritis LoGoPoRI
Draft RUU Penyiaran yang memuat ketentuan larangan liputan eksklusif investigasi jurnalistik menjadikan upaya mundurnya kualitas demokrasi sekaligus menjadi ancaman bagi demokrasi itu sendiri, terutama bagi insan pers di seluruh tanah air. Setidaknya ada 4 (empat) catatan kritis LoGoPoRI terkait draft yang dinilai kontroversial dan harus ditolak.
Pertama, adanya norma yang membatasi konten investigasi jurnalisitik dalam RUU Penyiaran berpotensi semakin menghambat kerja-kerja masyarakat sipil dalam penegakan HAM, pemberantasan korupsi serta penguatan demokrasi.
Kedua, larangan investigasi jurnalistik bertentangan dengan prinsip tata kelola pemerintahan yang baik. Karena tidak sejalan dengan nilai transparansi, partisipasi, dan akuntabilitas sebagai prinsip Good Governance. Karya liputan investigasi merupakan salah satu bentuk paling efektif yang dihasilkan dari partisipasi publik dalam memberikan informasi dugaan pelanggaran kejahatan atau kebijakan publik kepada jurnalis. Selain itu, produk jurnalisme investigasi juga bagian dari upaya mewujudkan tata kelola pemerintahan yang lebih demokratis.
Ketiga, ketentuan RUU Penyiaran tumpang tindih dengan regulasi lain khususnya menyangkut UU Pers dan kewenangan Dewan Pers. UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers telah mengatur kode etik jurnalistik dan kewenangan Dewan Pers. Ketentuan dalam RUU Penyiaran bertentangan pasal 4 ayat (2) UU Pers yang menyatakan bahwa terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pemberedelan, atau pelarangan penyiaran.
Keempat, ketentuan dalam RUU Penyiaran merupakan bentuk ancaman kemunduran demokrasi di tanah air. Hal ini karena jurnalisme investigasi adalah salah satu alat bagi pers (sebagai pilar keempat demokrasi) untuk melakukan kontrol terhadap tiga pilar demokrasi lainnya (eksekutif, legislatif, dan yudikatif). Melarang penayangan eksklusif jurnalisme investigasi sama dengan menjerumuskan bangsa ini sebagai bangsa yang tidak demokratis. Untuk itu hanya ada satu kata: Lawan!
Oleh : Muries Subiyantoro
Alumni Ilmu Politik FISIP Unair Surabaya, Pegiat Demokrasi, dan Penggagas LoGoPoRI
(Local Government and Political Research Institute) Magetan