MAGETAN (Lensamagetan.com) – Warung Kita milik Kang Brodin di Dukuh Dukuh Kanthong Bolong malam ini rame, tapi suasananya penuh keluh kesah. Meja kayu Jati hasil nyolong di alas Caruban jadi saksi obrolan warga, dibumbui sindiran pedas soal hidup masyarakat kecil: petani yang pusing bayar pupuk, pedagang pasar yang dagangannya sepi, dan ibu-ibu yang ngutang buat daftar sekolah anaknya.
FGD malam ini bikin warga naik darah: orang tua di Dukuh Kanthong Bolong bingung daftar sekolah buat anak-anak karena sistemnya ribet, istilahnya aneh-aneh kayak “zonasi”, “PPDB online”, sama “kuota jalur prestasi”. Sekolah-sekolah cuek, guru asal jawab, dan dinas pendidikan cuma kasih brosur yang bikin pusing. Pemkab bilang pendidikan nomor satu, tapi kok warga cuma disuruh cari tahu sendiri! Kang Brodin, pemilik warung yang sok intelek tapi jago analisa kehidupan, buka suara sambil nyeruput kopi tubruk, kacamata bulatnya melorot, tangannya ngegulung rokok tembakau sambil nyatet di buku coret-coret. “Ini krisis akses pendidikan, Kang! Orang tua bingung daftar sekolah karena istilah ‘zonasi’ sama ‘PPDB’ kayak kode rahasia.
Sekolah cuek, dinas pendidikan cuma lempar brosur. Where is the educational equity, bro? Ini bukan pemberdayaan, ini birokrasi bikin migrain!” Nadanya dramatis, sambil nulis “PPDB = Pusing-Pusing Daftar Bocah” di bukunya, seolah mau bikin esai.
Joni, aktivis LSM Sukar Maju yang nggak paham tupoksinya, nimbrung sambil mainin kunci motor, matanya ngeliatin kaos LSM-nya yang pudar. “Ini soal ketimpangan, Kang! Orang tua miskin nggak punya HP buat daftar online, sekolah cuma bilang ‘cari tahu sendirim.
Ini bukan inclusive education, ini elitist bureaucracy!” Katanya semangat, tapi tiba-tiba ngeluh bensin motor abis, bikin warga cekikikan, bingung dia peduli pendidikan atau cuma galau. Polkah, provokator si makelar kasus, nyelonjor di kursi sambil ngupil, matanya jeli ngeliatin warga yang pusing.
“Tenang, Kang, urusan daftar sekolah aku beresin. Aku kenal orang dalam di dinas, asal ada ongkos bensin!” Katanya sok akrab, sambil nyanyi pop 90-an pelan, tapi buru-buru ngilang pas Harso mulai ngomongin hukum, takut kena semprot.
Puyeh, wartawan Pecah Kongsi Post yang beritanya bikin bingung, nyamber sambil ngunyah keripik singkong, tangannya ngetik di HP sambil ngeluh sinyal lemot. “Aku dengar, Kang, PPDB online bikin ibu-ibu pusing, sekolah bilang ‘cek website’, tapi website error. Aku tanya dinas pendidikan, jawabannya muter: ‘Kami sedang sosialisasi.’ Bingung! Mau tulis soal orang tua yang antre, redaktur bilang, ‘Puy, cari advertorial aja!’” Dia ketawa, nyodorin keripik, tapi sindirannya nendang.
Somad, modin bijak yang selalu pakai dalil kebijaksanaan, nyeruput teh manis sambil
memutar tasbih kecil. “Sabar, Kang, pendidikan anak ujian buat orang tua. Tapi sekolah harus bantu, jangan cuek. Sabun iku luwih genah tinimbang sopo, sekolah kudu terang!” Katanya pelan dengan nada penuh wibawa, sambil nyanyi sholawatan pelan, bikin warga adem meski pusing.
Harso, pengacara peragu yang suka ngomongin KUHP, nyeruput es teh sambil ngerapihin kertas catatan hukum di saku. “Secara hukum, Pasal 31 ayat (1) UUD 1945 bilang tiap warga berhak atas pendidikan. Peraturan Menteri Pendidikan Nomor 1 Tahun 2021 tentang PPDB juga bilang prosesnya harus transparan dan nggak diskriminatif. Kalau sekolah cuek dan sistem ribet, ini maladministrasi!” Katanya pelan, ngelap keringet pake sapu tangan, takut salah ngutip.
Sastro Ubed, pengamat sosial yang analisanya melenceng, nyengir sambil nggambar peta imajiner di udara. “Ini efek digitalisasi, Kang! PPDB online bikin bingung karena warga nggak punya Wi-Fi. Harusnya dinas bikin aplikasi kayak di Singapura!” Warga geleng geleng, ketawa ngeliat dia joget kecil pas nyanyi campursari “Goyang dombred…”.
Jamal, hansip sok intel tapi hapal undang-undang, nimbrung sambil nyatet di buku saku. “Pasal 6 ayat (1) Permen PANRB Nomor 8 Tahun 2021 bilang pelayanan pendidikan harus cepat dan mudah. Sekolah cuek, orang tua antre sampe siang, ini pelanggaran pelayanan publik! Tapi aku cuma hansip, mana berani tanya!” Nadanya tegas, tapi nyanyi pop Jawa “Cintaku kepadamu…” pelan, bikin warga cekikikan.
Kang Brodin nyulut rokok, nadanya kayak juru kampanye. “Kalian ngeluh, tapi cuma bisik-bisik! Sistem PPDB ribet gini karena kita diam. Dengan lantang dia memberi perintah:
– Joni, LSM-mu bikin posko bantu orang tua daftar, jangan cuma ngeluh bensin.
– Polkah, berhenti makelarin, bantu warga tanpa minta duit.
– Puyeh, wawancara ibu-ibu yang pusing PPDB, bikin berita yang bikin dinas gerak,
jangan cari advertorial dan iklan saja.
– Somad, ajak warga ke balai desa, kasih nasihat biar berani ngomong.
– Harso, susun surat ke ombudsman, pake UU Pendidikan.
– Sastro, amati beneran, jangan ngeramal togel melulu.
– Jamal, dampingi warga protes, ke sekolahan!
– Ayo semuanya bergeraaaaaaaaak!”
Warga ketawa sambil ngempet ngompol, tapi Joni bilang nggak ada dana, Polkah kabur,
Puyeh takut dipecat pimred, Somad cuma senyum, Harso bilang bikin surat butuh biaya, Sastro nyanyi lagi, Jamal grogi.
Obrolan bubar, cuma kasak-kusuk menguap bareng asap rokok yang tanpa cukai.
Warung Kita sepi lagi. Kopi dingin, mendoan nggak laku. Dukuh Kanthong Bolong tetap sunyi, warga tetep pusing soal PPDB.
Obrolan di Warung Kita soal PPDB yang ribet dan sekolah yang cuek mencerminkan
kekecewaan masyarakat kecil di Dukuh Kanthong Bolong yang berjuang demi pendidikan anak, tapi terbentur birokrasi dan sikap acuh tak acuh. Keterbukaan informasi publik, seperti dijamin oleh Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, bisa jadi alat warga untuk menuntut transparansi PPDB, tapi tanpa
keberanian melapor, itu cuma wacana. Pasal 31 ayat (1) UUD 1945 dan Permendikbud Nomor 1 Tahun 2021 menegaskan pendidikan harus mudah diakses, tapi kalau sistem ribet dan sekolah cuek, warga kecil tetep jadi korban. Kritik membangun, meski dibalut
humor pedas, nggak akan mengubah apa-apa kalau cuma berhenti di meja warung. Di Dukuh Dukuh Kanthong Bolong , keluhan mungkin keras, tapi tanpa aksi kolektif, PPDB bakal tetep bikin pusing, dan warga cuma penonton di cerita pendidikan anak-anak mereka.
Memang fiktif tapi tak lelah bermimpi. RGS