MAGETAN (Lensamagetan.com) – Saat ini upaya resik-resik (pemberantasan) judi online (Juol) di negara tercinta kita masih jauh dari kenyataan yang diharapkan. Parahnya lagi di tengah upaya kampanye pemerintah untuk memberantasnya, muncul kasus-kasus yang mengejutkan.
Beberapa pejabat di Kementerian Komunikasi dan Digital yang seharusnya menutup ribuan situs judi online justru terlibat dalam jaringan tersebut. Isunya dengan mengeluarkan 80-90 juta mereka justru mengamankan akun-akun judi online (Juol) yang menyetorkan dana ke mereka. Alih-alih memberantas, mereka malah memanfaatkan wewenang untuk memperkuat bisnis perjudian.
Ini menjadikan pemberantasan judi lebih seperti kentut yang bau tapi sulit dibuktikan di bawah kendali yang justru memberi ruang bagi praktik korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan.
Pun, dikota kecil seperti Magetan hampir semua pelaku perjudian online tidak memandang usia, mulai remaja sampe dewasa, mulai pekerja kantoran sampai dengan orang warungan, dengan latar belakang pendidikan yang bermacam macam.
Beberapa kasus yang diproses Polres Magetan maupun yang disidangkan di Pengadilan Negeri Magetan membuktikan bahwa permasalahan judi online adalah masalah serius yang harus dihadapi dan ditangani bersama oleh semua lapisan masyarakat.
Jangan sampai kita hanya berpangku tangan saja berharap pemerintah melalui stake holder yang ada untuk mengatasinya. Butuh kemauan, kerjasama semua pihak untuk memberantasnya.
Ini bukan kejadian berskala kecil. Menurut Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), aliran uang dari aktivitas judi online di Indonesia mencapai puluhan triliun rupiah setiap tahunnya, terhubung dengan jaringan internasional yang sulit dijangkau oleh penegak hukum.
Fenomena ini menunjukkan bahwa persoalan tidak hanya berada di tingkat penegakan hukum, melainkan juga terkait sistem besar yang mendukung praktik-praktik yang tidak etis ini.
Dalam sistem kapitalisme sekuler, prinsip bahwa “segala cara sah selama menghasilkan keuntungan” memberikan ruang bagi operasi perjudian dengan dukungan yang luas, termasuk dari pihak-pihak yang memiliki kekuasaan.
Kapitalisme sekuler memisahkan nilai-nilai moral dari kehidupan publik, menganggap urusan spiritual dan agama sebagai urusan pribadi yang tak perlu dibawa ke dalam kebijakan negara. Akibatnya, praktik-praktik yang merusak masyarakat, seperti perjudian, dapat terus berlangsung selama mendatangkan keuntungan.
Sistem tanpa basis moral yang kuat memungkinkan korupsi dan manipulasi kewenangan berlangsung dengan mudah, bahkan di antara para aparat yang seharusnya menjaga hukum dan moralitas publik.
Judi online merupakan tindak pidana yang diatur dalam undang-undang dan dapat dijerat dengan pidana:
Pasal 303 KUHP mengatur bahwa pelaku perjudian dapat dipidana penjara maksimal 10 tahun atau denda maksimal Rp 25 juta.
Pasal 27 ayat (2) UU No 19 Tahun 2016 mengatur bahwa pelaku yang mendistribusikan, mentransmisikan, atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik atau dokumen elektronik yang mengandung perjudian dapat dipidana penjara maksimal 6 tahun atau denda maksimal Rp1 miliar.
UU No 7 Tahun 1974 tentang Penertiban Perjudian menyatakan bahwa semua tindak pidana perjudian merupakan kejahatan. Meskipun sudah diatur dalam undang-undang, judi online masih marak terjadi di masyarakat.(*)
Penulis :
Ahmad Setiawan SH. MH.
Advokat dan praktisi Hukum serta Owner Firma Hukum AS LAW FIRM.